Penjadwalan
berkaitan dengan permasalahan memutuskan proses mana yang akan dilaksanakan
dalam suatu sistem. Proses yang belum mendapat jatah alokasi dari CPU akan
mengantri di ready queue.
Algoritma penjadwalan berfungsi untuk menentukan proses manakah yang ada di ready queue yang akan
dieksekusi oleh CPU.
Algoritma
ini merupakan algoritma penjadwalan yang paling sederhana yang digunakan CPU.
Dengan menggunakan algoritma ini setiap proses yang berada pada status ready
dimasukkan kedalam FIFO queue atau antrian dengan prinsip first in
first out, sesuai dengan waktu kedatangannya. Proses yang tiba terlebih
dahulu yang akan dieksekusi.
Contoh:Ada
tiga buah proses yang datang secara bersamaan yaitu pada 0 ms, P1 memiliki
burst time 24 ms, P2 memiliki burst time 3 ms, dan P3 memiliki burst time 3 ms.
Hitunglah waiting time rata-rata dan turnaround time( burst
time + waiting time) dari ketiga proses tersebut dengan menggunakan
algoritma FCFS. Waiting time untuk P1 adalah 0 ms (P1 tidak perlu
menunggu), sedangkan untuk P2 adalah sebesar 24 ms (menunggu P1 selesai), dan
untuk P3 sebesar 27 ms (menunggu P1 dan P2 selesai).
Urutan kedatangan adalah P1, P2 ,
P3; gantt chart untuk urutan ini adalah:
Waiting time
rata-ratanya adalah sebesar(0+24+27)/3 = 17ms. Turnaround time untuk P1
sebesar 24 ms, sedangkan untuk P2 sebesar 27 ms (dihitung dari awal kedatangan
P2 hingga selesai dieksekusi), untuk P3 sebesar 30 ms. Turnaround time
rata-rata untuk ketiga proses tersebut adalah (24+27+30)/3 = 27 ms.
Kelemahan dari algoritma ini:
- Waiting time rata-ratanya cukup lama.
- Terjadinya convoy effect, yaitu proses-proses menunggu lama untuk menunggu 1 proses besar yang sedang dieksekusi oleh CPU. Algoritma ini juga menerapkan konsep non-preemptive, yaitu setiap proses yang sedang dieksekusi oleh CPU tidak dapat di-interrupt oleh proses yang lain.
Misalkan proses dibalik sehingga
urutan kedatangan adalah P3, P2, P1. Waiting time adalah P1=6; P2=3;
P3=0. Average waiting time: (6+3+0)/3=3.
SJF (Shortest Job First)
Pada algoritma ini setiap proses yang ada di ready queue akan dieksekusi berdasarkan burst time terkecil. Hal ini mengakibatkan waiting time yang pendek untuk setiap proses dan karena hal tersebut maka waiting time rata-ratanya juga menjadi pendek, sehingga dapat dikatakan bahwa algoritma ini adalah algoritma yang optimal.
Burst time:asumsi
berapa lama sebuah proses membutuhkan CPU diantara proses menunggunya I/O. Hal
ini tidak dapat diprediksi secara tepat sebelum dimulainya sebuah proses.
Artinya jumlah waktu yang dibutuhkan sebuah proses dalam menggunakan CPU dalam
sebuah satuan waktu. (Sebuah proses dapat menggunakan CPU selama beberapa kali
selama task yang diberikan belum diselesaikan.
Process
|
Arrival Time
|
Burst Time
|
P1
|
0.0
|
7
|
P2
|
2.0
|
4
|
P3
|
4.0
|
1
|
P4
|
5.0
|
4
|
Contoh: Ada 4 buah proses yang
datang berurutan yaitu P1 dengan arrival time pada 0.0 ms dan burst
time 7 ms, P2 dengan arrival time pada 2.0 ms dan burst time
4 ms, P3 dengan arrival time pada 4.0 ms dan burst time 1 ms, P4
dengan arrival time pada 5.0 ms dan burst time 4 ms. Hitunglah waiting
time rata-rata dan turnaround time dari keempat proses tersebut
dengan mengunakan algoritma SJF.
Average waiting time
rata-rata untuk ketiga proses tersebut adalah sebesar (0 +6+3+7)/4=4 ms.
Average
waiting time rata-rata untuk ketiga
prses tersebut adalah sebesar (9+1+0+2)/4=3 ms.
Ada beberapa
kekurangan dari algoritma ini yaitu:
1.
Susahnya untuk
memprediksi burst time proses yang akan dieksekusi selanjutnya.
2.
Proses yang
mempunyai burst time yang besar akan memiliki waiting time
yang besar pula karena yang dieksekusi terlebih dahulu adalah proses dengan burst
time yang lebih kecil.
Algoritma ini
dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1.
Preemptive . Jika
ada proses yang sedang dieksekusi oleh CPU dan terdapat proses di ready queue
dengan burst time yang lebih kecil daripada proses yang sedang dieksekusi
tersebut, maka proses yang sedang dieksekusi oleh CPU akan digantikan oleh
proses yang berada di ready queue tersebut. Preemptive SJF
sering disebut juga Shortest-Remaining- Time-First scheduling.
2.
Non-preemptive . CPU
tidak memperbolehkan proses yang ada di ready queue untuk menggeser
proses yang sedang dieksekusi oleh CPU meskipun proses yang baru tersebut
mempunyai burst time yang lebih kecil.
Priority
Scheduling
Priority
Scheduling merupakan algoritma penjadwalan
yang mendahulukan proses yang memiliki prioritas tertinggi. Setiap proses
memiliki prioritasnya masing-masing.
Prioritas suatu proses dapat
ditentukan melalui beberapa karakteristik antara lain:
- Time limit.
- Memory requirement.
- Akses file.
- Perbandingan antara burst M/K dengan CPU burst.
- Tingkat kepentingan proses.
Priority scheduling
juga dapat dijalankan secara preemptive maupun non-preemptive.
Pada preemptive, jika ada suatu proses yang baru datang memiliki
prioritas yang lebih tinggi daripada proses yang sedang dijalankan, maka proses
yang sedang berjalan tersebut dihentikan, lalu CPU dialihkan untuk proses yang
baru datang tersebut. Sementara itu, pada non-preemptive, proses yang
baru datang tidak dapat menganggu proses yang sedang berjalan, tetapi hanya
diletakkan di depan queue.
Kelemahan pada priority
scheduling adalah dapat terjadinya indefinite blocking( starvation).
Suatu proses dengan prioritas yang rendah memiliki kemungkinan untuk tidak
dieksekusi jika terdapat proses lain yang memiliki prioritas lebih tinggi
darinya.
Solusi dari permasalahan ini adalah aging,
yaitu meningkatkan prioritas dari setiap proses yang menunggu dalam queue
secara bertahap.
Contoh: Setiap 10 menit, prioritas
dari masing-masing proses yang menunggu dalam queue dinaikkan satu
tingkat. Maka, suatu proses yang memiliki prioritas 127, setidaknya dalam 21
jam 20 menit, proses tersebut akan memiliki prioritas 0, yaitu prioritas yang
tertinggi (semakin kecil angka menunjukkan bahwa prioritasnya semakin tinggi).
Round
Robin
Algoritma
ini menggilir proses yang ada di antrian. Proses akan mendapat jatah sebesar time
quantum. Jika time quantum-nya habis atau proses sudah selesai, CPU akan
dialokasikan ke proses berikutnya. Tentu proses ini cukup adil karena tak ada
proses yang diprioritaskan, semua proses mendapat jatah waktu yang sama dari
CPU yaitu (1/n), dan tak akan menunggu lebih lama dari (n-1)q dengan q adalah
lama 1 quantum.
Algoritma ini sepenuhnya bergantung
besarnya time quantum. Jika terlalu besar, algoritma ini akan sama saja
dengan algoritma first come first served. Jika terlalu kecil, akan
semakin banyak peralihan proses sehingga banyak waktu terbuang.
Permasalahan utama pada Round
Robin adalah menentukan besarnya time quantum. Jika time quantum
yang ditentukan terlalu kecil, maka sebagian besar proses tidak akan selesai
dalam 1 quantum. Hal ini tidak baik karena akan terjadi banyak switch,
padahal CPU memerlukan waktu untuk beralih dari suatu proses ke proses lain
(disebut dengan context switches time). Sebaliknya, jika time quantum terlalu
besar, algoritma Round Robin akan berjalan seperti algoritma first
come first served. Time quantum yang ideal adalah jika 80% dari total
proses memiliki CPU burst time yang lebih kecil dari 1 time quantum.
|
|
Multilevel Queue
Ide dasar dari algoritma ini berdasarkan pada sistem prioritas proses.
Prinsipnya, jika setiap proses dapat dikelompokkan berdasarkan prioritasnya,
maka akan didapati queue seperti pada gambar berikut:
Dari gambar
tersebut terlihat bahwa akan terjadi pengelompokan proses-proses berdasarkan prioritasnya.
Kemudian muncul ide untuk menganggap kelompok-kelompok tersbut sebagai sebuah
antrian-antrian kecil yang merupakan bagian dari antrian keseluruhan proses,
yang sering disebut dengan algoritma multilevel queue.
Dalam hal ini,
dapat dilihat bahwa seolah-olah algoritma dengan prioritas yang dasar adalah algoritma
multilevel queue dimana setiap queue akan berjalan dengan
algoritma FCFS yang memiliki banyak kelemahan. Oleh karena itu, dalam
prakteknya, algoritma multilevel queue memungkinkan adanya penerapan
algoritma internal dalam masing-masing sub-antriannya yang bisa memiliki
algoritma internal yang berbeda untuk meningkatkan kinerjanya.
Berawal dari priority
scheduling, algoritma ini pun memiliki kelemahan yang sama dengan priority
scheduling, yaitu sangat mungkin bahwa suatu proses pada queue dengan
prioritas rendah bisa saja tidak mendapat jatah CPU. Untuk mengatasi hal
tersebut, salah satu caranya adalah dengan memodifikasi algoritma ini dengan
adanya jatah waktu maksimal untuk tiap antrian, sehingga jika suatu antrian
memakan terlalu banyak waktu, maka prosesnya akan dihentikan dan digantikan
oleh antrian dibawahnya, dan tentu saja batas waktu untuk tiap antrian bisa
saja sangat berbeda tergantung pada prioritas masing-masing antrian.
Multilevel Feedback Queue
Algoritma ini mirip sekali dengan algoritma multilevel queue.
Perbedaannya ialah algoritma ini mengizinkan proses untuk pindah antrian. Jika
suatu proses menyita CPU terlalu lama, maka proses itu akan dipindahkan ke
antrian yang lebih rendah. Hal ini menguntungkan proses interaksi karena proses
ini hanya memakai waktu CPU yang sedikit. Demikian pula dengan proses yang
menunggu terlalu lama. Proses ini akan dinaikkan tingkatannya. Biasanya
prioritas tertinggi diberikan kepada proses dengan CPU burst terkecil,
dengan begitu CPU akan terutilisasi penuh dan M/K dapat terus sibuk. Semakin
rendah tingkatannya, panjang CPU burst proses juga semakin besar.
Gambar
14.7. Multilevel Feedback Queue
Algoritma ini didefinisikan melalui
beberapa parameter, antara lain:
- Jumlah antrian.
- Algoritma penjadwalan tiap antrian.
- Kapan menaikkan proses ke antrian yang lebih tinggi.
- Kapan menurunkan proses ke antrian yang lebih rendah.
- Antrian mana yang akan dimasuki proses yang membutuhkan.
Dengan pendefinisian seperti tadi
membuat algoritma ini sering dipakai, karena algoritma ini mudah dikonfigurasi
ulang supaya cocok dengan sistem. Tapi untuk mengatahui mana penjadwal terbaik,
kita harus mengetahui nilai parameter tersebut.
Multilevel feedback queue
adalah salah satu algoritma yang berdasar pada algoritma multilevel queue.
Perbedaan mendasar yang membedakan multilevel feedback queue dengan multilevel
queue biasa adalah terletak pada adanya kemungkinan suatu proses berpindah
dari satu antrian ke antrian lainnya, entah dengan prioritas yang lebih rendah
ataupun lebih tinggi, misalnya pada contoh berikut.
- Semua proses yang baru datang akan diletakkan pada queue 0 ( quantum= 8 ms).
- Jika suatu proses tidak dapat diselesaikan dalam 8 ms, maka proses tersebut akan dihentikan dan dipindahkan ke queue 1 ( quantum= 16 ms).
- Queue 1 hanya akan dikerjakan jika tidak ada lagi proses di queue 0, dan jika suatu proses di queue 1 tidak selesai dalam 16 ms, maka proses tersebut akan dipindahkan ke queue 2.
- Queue 2 akan dikerjakan bila queue 0 dan 1 kosong, dan akan berjalan dengan algoritma FCFS.
Disini terlihat bahwa ada
kemungkinan terjadinya perpindahan proses antar queue, dalam hal ini
ditentukan oleh time quantum, namun dalam prakteknya penerapan algoritma
multilevel feedback queue akan diterapkan dengan mendefinisikan terlebih
dahulu parameter-parameternya, yaitu:
- Jumlah antrian.
- Algoritma internal tiap queue.
- Aturan sebuah proses naik ke antrian yang lebih tinggi.
- Aturan sebuah proses turun ke antrian yang lebih rendah.
- Antrian yang akan dimasuki tiap proses yang baru datang.
Contoh: Terdapat tiga antrian; Q1=10
ms, FCFS Q2=40 ms, FCFS Q3=FCFS proses yang masuk, masuk ke antrian Q1. Jika
dalam 10 ms tidak selesai, maka proses tersebut dipindahkan ke Q2. Jika dalam
40 ms tidak selesai, maka dipindahkan lagi ke Q3. Berdasarkan hal-hal di atas
maka algoritma ini dapat digunakan secara fleksibel dan diterapkan sesuai
dengan kebutuhan sistem. Pada zaman sekarang ini algoritma multilevel
feedback queue adalah salah satu yang paling banyak digunakan.
STRATEGI DASAR PENJADWALAN
Strategi
penjadwalan proses secara umum dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu
penjadwalan non-preemptive dan preemptive.
1.
Non-preemptive
(run-to-completion)
Pada strategi ini, begitu proses
telah berjalan maka sistem operasi maupun proses lain tidak dapat mengmabil
alih eksekusi prosesor. Pengalihan hanya dapat terjadi jika proses yang running
sudah selesai, baik secara normal maupun abnormal. Strategi ini membahayakan
sistem dan proses lain, sebab jika proses yang sedang berjalan mengalami
kegagalan, crash ataupun looping tak berhingga maka sistem operasi menjadi
tidak berfungsi dan proses lain tidak mendapatkan kesempatan untuk dieksekusi.
Strategi penjadwalan non-preemptive umumnya digunakan pada sistem batch atau
sekuensial.
2.
Preemptive
Pada strategi ini, sistem operasi
dan proses lain dapat mengambil alih eksekusi prosesor tanpa harus menunggu
proses yang sedang running menyelesaikan tugasnya. Penjadwalan preemptive
merupakan fitur yang penting, terutama pada sistem dimana proses-proses
memerlukan tanggapan prosesor secara cepat. Sebagai contoh adalah sistem
real-time, dimana jika terjadi interupsi dan tidak segera dilayani maka dapat
berakibat fatal. Contoh lain adalah sistem interaktif time-sharing, dimana
pengguna sistem mengharapkan tanggapan yang cepat dari sistem. Secara umum,
sistem konkuren seperti sistem operasi yang multitasking lebih menghendaki
sistem penjadwalan preemptive.
Penjadwalan Preemptive
- Berubah dari running ke waiting state.
- Berubah dari running ke ready state.
- Berubah dari waiting ke ready state.
- Dihentikan.
Penjadwalan Preemptive mempunyai arti kemampuan sistem operasi untuk
memberhentikan sementara proses yang sedang berjalan untuk memberi ruang kepada
proses yang prioritasnya lebih tinggi. Penjadwalan ini bisa saja termasuk
penjadwalan proses atau M/K. Penjadwalan Preemptive memungkinkan
sistem untuk lebih bisa menjamin bahwa setiap proses mendapat sebuah slice waktu operasi. Dan juga membuat sistem lebih cepat merespon terhadap event dari luar (contohnya seperti ada data yang masuk) yang membutuhkan
reaksi cepat dari satu atau beberapa proses. Membuat penjadwalan yang Preemptive mempunyai keuntungan yaitu sistem lebih responsif
daripada sistem yang memakai penjadwalan Non Preemptive.
Dalam waktu-waktu tertentu, proses dapat dikelompokkan
ke dalam dua kategori: proses yang memiliki Burst M/K yang sangat lama disebut I/O Bound, dan proses yang memiliki Burst CPU yang sangat lama
disebutCPU Bound. Terkadang juga suatu sistem mengalami kondisi yang
disebut busywait, yaitu saat dimana sistem menunggu request input(seperti disk, keyboard, atau jaringan). Saat busywait tersebut, proses tidak melakukan sesuatu yang produktif, tetapi tetap
memakan resource dari CPU. Dengan penjadwalan Preemptive, hal tersebut dapat dihindari.
Dengan kata lain, penjadwalan Preemptive melibatkan
mekanisme interupsi yang menyela proses yang sedang berjalan dan memaksa sistem
untuk menentukan proses mana yang akan dieksekusi selanjutnya.
Penjadwalan nomor 1 dan 4 bersifat Non Preemptive sedangkan
lainnya Preemptive. Penjadwalan yang biasa digunakan sistem operasi
dewasa ini biasanya bersifat Preemptive. Bahkan beberapa penjadwalan sistem operasi,
contohnya Linux 2.6, mempunyai kemampuan Preemptive terhadap system call-nya ( preemptible kernel). Windows
95, Windows XP, Linux, Unix, AmigaOS, MacOS X, dan Windows NT adalah beberapa contoh sistem operasi yang menerapkan
penjadwalan Preemptive.
Lama waktu suatu proses diizinkan untuk dieksekusi
dalam penjadwalan Preemptive disebut time slice/quantum. Penjadwalan berjalan
setiap satu satuan time slice untuk memilih proses mana yang akan berjalan
selanjutnya. Bila time
slice terlalu pendek maka penjadwal
akan memakan terlalu banyak waktu proses, tetapi bila time slice terlau lama maka memungkinkan proses untuk tidak dapat
merespon terhadap event dari luar secepat yang diharapkan.
Penjadwalan Non Preemptive
Penjadwalan Non Preemptive ialah salah
satu jenis penjadwalan dimana sistem operasi tidak pernah melakukan context switch dari proses yang sedang berjalan ke proses yang lain.
Dengan kata lain, proses yang sedang berjalan tidak bisa di- interupt.
Penjadwalan Non Preemptive terjadi ketika proses hanya:
- Berjalan dari running state sampai waiting state.
- Dihentikan.
Ini berarti CPU menjaga proses sampai proses itu
pindah ke waiting state ataupun dihentikan (proses tidak diganggu). Metode ini
digunakan oleh Microsoft
Windows 3.1 dan Macintosh. Ini adalah metode
yang dapat digunakan untuk platforms hardware tertentu, karena tidak memerlukan perangkat keras khusus (misalnya timer
yang digunakan untuk menginterupt pada metode penjadwalan Preemptive).
Dispatcher
Komponen
penjadwalan proses lainnya adalah dispatcher. Dispatcher adalah suatu rutin
sistem operasi yang berfungsi untuk melakukan pengalihan eksekusi dari proses
yang running ke proses yang terseleksi oleh short-term scheduler. Rutin ini
memindahkan isi register prosesor, konteks prosesor, ke PCB proses yang
dihentikan, kemudian mengubah statusnya menjadi ready, kemudian menginisiasi
isi register prosesor menggunakan konteks prosesor yang tersimpan dalam PCB
proses terpilih. Durasi waktu yang diperlukan untuk melakukan pengalihan
(switching) disebut dengan dispatch latency.
klik disini untuk download video
Tidak ada komentar:
Posting Komentar